Friday 9 March 2012

doctor's OATH:It’s not final yet

Prosesi penyumpahan dokter di awal bulan ini bukan titik akhir dalam kehidupan saya. Walaupun pengakhiran dari proses ini merupaka hal yang sangat saya tunggu. Apa yang saya rasa jauh dari bahagia. Saya sedih dan haru, saat harus berjanji dengan diri sendiri atas nama Tuhan saya. Mengikrarkan janji kemanusiaan. Sehebat itukah saya?

Dokter,gelar itu resmi ada di depan nama saya. Ribuan orang yang turut andil dalam pencapaian ini. Sekedar ucapan terimakasih mungkin tidak akan cukup untuk semua pasien menengah kebawah yang berobat ke rumah sakit pendidikan da puskesmas, beliau neonatus sampai geriatri yang rela menjadi ladang ilmu dan tempat mengasah skill kedokteran saya. Saya bukan dan tidak akan menjadi dokter tanpa jasa beliau. Dari siapa saya mendapat nilai BST? Case? Nilai ujian? jika bukan kesedian beliau untuk saya periksa dan saya jadikan pasien mungkin saya akan tetap mendekam dalam lingkaran rumah sakit dan bergelar koass. Tidak jarang saya mendapat pandangan sebelah mata dan panggilan sus, tapi biarlah, toh beliau memberikan saya kesempatan untuk menjadi dokter. Dosen muda sampai professor yang bersedia menerima dengan lapang dada setiap jawaban yang tidak benar dari saya. Pendidik yang selalu bersedia membagi ilmu. Dan tidak ada yang lebih berperan daipada ke dua orang tua saya. Walau saya tidak tahu secara pasti, saya merasa beliau menginginkan saya menjadi dokter. Pembangunan “rel” pendidikan yang beliau buat untuk saya menyeret saya samapai menjadi seorang dokter. Saya tidak menyesal. Saya belajar lebih dari sekedar arts dan science, pola berpikir dan tampilan beriskap serta beraksi untuk sebuah aksi. Bagaimana saya menerima kenyataan tentang paradigma serta sikap teman, dosen, bahkan karyawan atas ke anak dekan an saya. Bagaimana perlakuan kebanyakan perawat yang menganggap seolah saya akan menjadi koass selamanya dan dokter yang kurang kompeten. Banyak, banyak banyak hal yang saya pelajari yang saya yakin akan saya perlukan di suatu tempat besar saat tertentu.

Dan ini memang belum akhir. Ada banyak “rel” kehidupan yang terbentang di depan mata, mengambil kesempatan dan peluang emas dan bersiap untuk menjadi pribadi yang siap menghadapi dunia.

Saya sedang berjalan di “rel” kehidupan yang saya buat dan saya menunggu penentuan Tuhan atas rel yang nanti akan dipihkan untuk saya.

Terimakasih untuk bunga abadi dari Dian Yashifa (plus cokelat ayamnya ahaha) dan Muthia Rustam, buket bunga cantik pilihan tante rina yang dikasih lewat difa.


3 comments:

Addifa said...

selamat dr. Pratiwi Putri Masru, so proud of you... :)

Addifa said...

hehehe.. bunga panah asmara itu

-pengantar bunga-

tiwi putri said...

bhuahhhaaa...makasih untuk setiap 2 comment di satu tulisannya ahahahaa